Pendekatan Ulama Tasawuf dan Fikih -->

Iklan Semua Halaman

Masukkan kode iklan di sini. Direkomendasikan iklan ukuran 970px x 250px. Iklan ini akan tampil di halaman utama, indeks, halaman posting dan statis.

Pendekatan Ulama Tasawuf dan Fikih

Ira Inayatul Alsa
Senin, 08 Mei 2017
Lapax Muslim - Sebilah pisau yang tajam, diambil oleh anak kecil, hendak dijadikan mainan. Analoginya, ulama fikih mengatakan tidak boleh dan merebut pisau itu, demikian juga dengan ulama tasawuf bedanya ulama tasawuf memberi alternatif. Pada akhirnya  tujuan keduanya sama hanya cara dan pendekatannya saja yang berbeda. Ini analogi saja.


Oleh sebab itu kebanyakan dakwah atau Islamisasi yang berhasil dilakukan oleh ulama tasawuf. Seperti di Kenya, Habib Masyhur al-Hadad. Sampai beliau mempelajari bahasa dayak, bahasa pedalaman disana. 10.000 orang yang masuk Islam. Demikian juga wali 9, mempelejari tradisi di India sehingga ketika dakwah di Nusantara lebih mudah diterima.

Dahulu para ulama tasawuf itu datang dengan berdagang, memberi kehidupan, memberi modal. Sehingga Raja tidak menganggapnya sebagai ancaman, malah banyak yang diangkat menjadi patih.

Inilah Islam Nusantara, bukan membuat Islam Nusantara, tapi cara-cara ulama kita dalam mengamalkan dan mendakwahkan Islam. Islam Nusantara, pengamalan Islam di Nusantara, seperti kata “hormat senjata”, bukan menghormat kepada senjata tapi tata cara menghormat dengan menggunakan senjata.

Islam Nusantara menghidupkan kearifan lokal dengan Islam, seperti perayaan maulid Nabi dengan tari saman di Aceh, Debus di Banten, di Cirebon, dan di beberapa kota di Jawa Timur berbeda lagi. Ada tarian khusus untuk peringatan maulid, orang yang sudah tua-tua menari memakai kipas sambil membaca shalawat kepada Nabi.

Budaya makan dipantura saja berbeda-beda, di Cirebon sate pake Cuka, di Tegal, Pekalongan beda lagi. Di Palembang pagi-pagi orang makan empek-empek juga pake cuka, di Solo beda lagi. Di Arab untuk makan satu orang butuh berapa kilo gram daging kambing atau unta, bera ratus ribu untuk sehari. Di Indonesia lima puluh ribu cukup untuk makan sehari untuk satu orang.

Namun demikian Islam mempunyai garis yang pasti, yaitu halal dan haram, ketika halal penerapannya fleksibel sesuai dengan kebudayaannya. Itu dalam makanan, aspek sosial, hubungan kemasyarakatan juga demikian, sangat fleksibel. Banyak yang ketakutan kalai Islam Nusantara itu anti Arab. Padahal Islam Nusantara tidak anti Arab, sebab kalau anti Arab 100 persen harus di syahadatkan lagi.